Rabu, 28 Juli 2010

PNPM Mandiri: Fasilitator, Sang Pelopor Pembaharuan



Sahabat tohitem, membicarakan masalah kemiskinan di negeri Indonesia tercinta ini, tidak akan ada habis-habisnya karena merupakan permasalahan yang sangat kompleks. Pemerintah sendiri telah begitu konsen dengan meluncurkan berbagai Program Pengentasan Kemiskinan. Namun, lagi-lagi masalah mental bangsa yang korup justru menjadi penghambat semua program Pemerintah tersebut. Salah satu Program Pemerintah yang berjalan cukup sukses adalah PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri).
 

Adanya Fasilitator Kecamatan (FK)/Teknik (FT) di tiap unit kerja di kecamatan membuat program pemerintah ini berjalan efektif. Fasilitator ini merupakan pendamping masyarakat  dalam mengikuti atau melaksanakan PNPM-PPK. Peran FK/FT adalah  memfasilitasi masyarakat dalam setiap tahapan PNPM-PPK (Program Pengembangan Kecamatan) mulai dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian. FK/FT juga berperan dalam membimbing kader-kader desa atau pelaku-pelaku PNPM-PPK tingkat desa dan kecamatan. Jika sahabat tohitem ingin mengetahui informasi lengkap mengenai PNPM-PPK dan informasi yang berkaitan dengan PNPM, sahabat tohitem bisa mengunjungi situs PNPM Jatim di http://www.pnpm-jatim.com.

Karena ketertarikan tohitem terhadap kemiskinan ini, tohitem akan berbagi sebuah nukilan, sebuah informasi yang semuga menjadi solusi akan kebutuhan wacana di dunia PNPM. Berikut sebuah sudut pandang kritis seorang pelaku, seorang fasilitator PNPM Mandiri yang tohitem bagikan dalam sebuah kolom Tohitem Corner:

Fasilitator, Sang Pelopor Pembaharuan

F.S Zuhry
Perubahan adalah sebuah keniscayaan. "Tempora mutantur et nos mutamur illis". Waktu berubah dan kita di dalamnya ikut berubah pula, demikian sebuah Adagium Romawi mengatakan. Pun demikian, dengan pola kehidupan sosial masyarakat seiring waktu peradaban manusia berkembang, yang juga ditandai dengan semakin tingginya teknologi modern yang demikian pesatnya mewarnai kehidupan kita. 
Sekalipun dalam banyak kondisi, perkembangan teknologi ini kadang tidak disertai dengan perubahan tata laku ke arah yang lebih baik, sehingga yang muncul justru kebalikannya. 
Perkembangan teknologi justru membuat dekadensi budaya dan moralitas. Ibarat bahasa militer: “Taktik kok malah makan strategi!” Korupsi, tipu daya dan kriminalitas makin merajalela. Kezaliman dan pelanggaran tata nilai yang berlaku semakin menjadi. 

Dus, para pengamat sosial mulai menganggap diperlukan sebuah rekayasa sosial (social engineering) guna memulihkan kondisi sosial yang semakin lama kian carut-marut, yang jika dibiarkan saja akan menjadi malapetaka bagi kahidupan umat manusia. Rekayasa sosial yang dimaksud adalah pemulihan kembali nilai-nilai luhur kemanusiaan melalui sebuah kerangka aksi yang disebut “pemberdayaan”. Berdaya bukan dalam artian digdaya, sebagaimana sifat hewani. Namun, berdaya sebagaimana fitrah manusia yang mempunyai sifat-sifat luhur kemanusiaan universal: cinta kasih, kejujuran, kerelawanan dan prinsip-prinsip menjunjung tinggi manusia sebagai mahluk yang memiliki kemerdekaan dan harkat yang bermartabat.
Perubahan sosial yang sporadis memang sesuatu yang diinginkan. Tapi, perubahan yang sporadis akan sulit terukur dan terkawal dengan baik. Yang sering terjadi justru bias tujuan, atau malah berbalik melawan arus dari tujuan awal. Seperti yang sering kita dengar, sebuah kejahatan yang sistematis akan sangat mudah mengalahkan kebaikan yang tidak sistematis. Jelas bahwa sebuah perubahan memerlukan perangkat aksi yang sistematis dan terkawal, yakni melalui metode aksi dan evaluasi, agar dapat terukur tingkat perubahannya. 
Dan, suatu hal logis jika sebuah aksi yang sistematis hanya bisa dikelola dengan baik oleh para profesional yang mampu mengolah dan menjalankan “sistem rekayasa sosial” sebagai katalisator dalam perubahan sosial ini. Dari sinilah muncul istilah fasilitator pemberdayaan. Karena, dalam rekayasa sosial fungsi pembangunan sejati bukan pada aspek di luar manusia seperti kecanggihan teknologi, tetapi lebih pada aspek pembangunan manusia sejati sebagaimana fitrahnya, yakni mahluk berbudi luhur yang berlaku bijak kepada sesama dan lingkungannya. 

Sistem rekayasa sosial adalah sebuah sistem yang selalu berubah dalam nalar wacana serta strata pelaksanaannya, namun selalu tetap dalam prinsip-prinsip dasarnya, yakni pemberdayaan manusia melalui nilai-nilai luhur kemanusiaan. Seperti halnya pemimpin, ada dua kutub pemikiran terhadap hadirnya fasilitator. Apakah bersifat lahir dari sebuah bakat (given) atau merupakan bentukan pendidikan/lingkungan? Dan, selalu ada pemikiran moderat yang mencoba mempertemukannya. Ibarat sebuah senjata, akan memiliki kualitas yang baik jika dibuat dari dari material terbaik, yang oleh ahlinya dibuat dengan proses pembuatan yang baik pula. 

Fasilitator secara harfiah dapat ditafsirkan sebagai desakan atau tuntutan suara hati yang resah melihat kondisi masyarakat yang mengalami dekadensi ini. Sebagaimana istilah eric form, “suasana hati kritis” ini melahirkan suatu keinginan berbuat sesuatu untuk memperbaikinya. Keinginan akan tetap menjadi keinginan, jika tidak disertai dengan sebuah aksi kongkrit.Dan, aksi kongkrit hanya akan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kemampuan melaksanakannya. 

Benarlah asumsi yang kedua, fasilitator dibentuk oleh sebuah pendidikan, baik pendidikan yang sistematis (formal atau nonformal) maupun pendidikan otodidak (informal), dimana pendidikan keluarga dianggap yang utama. Artinya, tidak peduli apa pun latar belakang pendidikan atau pekerjaan seseorang, setiap orang bisa menjadi fasilitator pemberdayaan, asal memiliki tekad untuk memberdayakan masyarakat dan mencoba belajar mengaktualisasikan tekadnya tersebut. (F.S. Zuhry, yg belajar menjadi fasilitator juga).

Penulis adalah pelaku PNPM, seorang fasilitator di wilayah Magetan, Jawa Timur, tulisan-tulisannya banyak di muat diberbagai media lokal dan nasional. Baca juga Catatan Kritis : PNPM Mandiri, Merakyatkan Pemberdayaan?

Tidak ada komentar: