Selasa, 20 Juli 2010

Catatan Kritis : PNPM Mandiri, Merakyatkan Pemberdayaan?

Apakah PNPM Mandiri Itu?

Kali ini Nukilan dari Pedalaman akan berbagi pengalaman seorang sahabat tohitem yang telah lama terjun di dunia pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Sebagaimana kita tahu bahwa masalah kemiskinan dan pembangunan masyarakat di pedesaan dan perkotaan saat ini telah menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia. To
hitem Liputan Terkini

Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Peran dunia usaha dan masyarakat pada umumnya juga belum optimal. Kerelawanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang dapat menjadi sumber penting pemberdayaan dan pemecahan akar permasalahan kemiskinan juga mulai luntur. Untuk itu diperlukan perubahan yang bersifat sistemik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan. tohitem liputan terkini
Untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Melaui PNPM Mandiri dirumuskan kembali mekanisme upaya penanggulangan kemiskinan yang melibatkan unsur masyarakat, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi. Melalui proses pembangunan partisipatif, kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, terutama masyarakat miskin, dapat dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka bukan sebagai obyek melainkan sebagai subyek upaya penanggulangan kemiskinan. (sumber:http://www.pnpm-mandiri.org)

Berikut ini sebuah catatan kritis dari salah satu sahabat tohitem yang telah lama berkecimpung di PNPM Mandiri ini. Sahabat tohitem ini telah melewati berbagai pengalaman mengabdi mulai dari Ternate, Tidore hingga perbatasan negeri jiran di kawasan Sulawesi dan saat ini beliau aktif sebagai salah seorang sesepuh PNPM Mandiri di wilayah Jawa Timur.

MERAKYATKAN PEMBERDAYAAN?
oleh: FS. Zuhry, pelaku PNPM Mandiri Perkotaan

Ada diskusi kecil terjadi saat coffe break pelatihan fasilitator PNPM Mandiri setelah sesi sebelumnya kami mengulas kembali topik paradigma pembangunan, Dalam materi tersebut dibahas sejarah global dan nasional terkait terjadinya pergeseran paradigma pembangunan yakni dari paradigma pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial menjadi pembangunan manusia sebagai endingnya, paradigma pembangunan manusia diyakini sebagai paradigma kekinian dalam pemberdayaan masyarakat. Seorang teman berkata; “masa iya sich dari zaman kemerdekaan, orde lama, orde baru dan baru pada era reformasi ini pemerintah pemerintah dan rakyat kita baru tersadar bahwa pembangunan pada hakikatnya adalah pembangunan manusia, apakah konsep Tridaya P2KP sangat jauh berbeda dengan Trilogi pembangunan ala orde baru atau hanya pada sistem pelaksanaannya saja yang mencoba dirubah!? Tohitem Liputan Terkini
Bahkan dalam bait terakhir syair lagu Indonesia Raya karya WR. Supratman tertulis jelas kalimat; “Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya” (saya pernah mendapatkan copy beberapa stanza yang lain dari seorang teman sebelum temuan itu ramai diberitakan di media massa). Dalam syair tersebut kata “Jiwa” disebut lebih dulu daripada kata “Badan”, Bahkan dalam Pancasila sebagai pondasi negara kita; ketuhanan, kemanusiaan menjadi point pertama dan kedua sebelum persatuan, kerakyatan dan keadilan, artinya para founding fouther cukup tahu atau bahkan sangat paham tentang pentingnya membangun manusia harus dilakukan dari dalam (ruh atau jiwa yang memang tidak terpisahkan dari kesadaran transedental/ ketuhanan dan kemanusiaan). Tohitem Liputan Terkini

Dus dengan mengubah tema pembangunan menjadi pembangunan manusia dalam melakukan pemberdayaan masyarakat tidak secara otomatis mampu merubah paradigma kita, beberapa contoh misalnya; Dalam paradigma pembangunan manusia kita harus menjadikan masyarakat sebagai subyek/pelaku dalam pembangunan namun kita sendiri lebih terbiasa memakai frasa “membangun masyarakat” yang di dalamnya masih menjadikan masyarakat sebagai obyek, dan justru agak asing terdengar ketika frasa tersebut diganti dengan “masyarakat membangun” atau “masyarakat pembangunan”. 

Sekitar tiga tahun lalu saat pertama kali saya dipanggil untuk bergabung di P2KP (hasil seleksi faskel saya masuk cadangan) Team Leader saya berpesan bahwa kita harus bekerja sungguh-sungguh karena negara sudah membayar mahal pekerjaan kita, kita juga harus memahami bahwa kita “bekerja untuk masyarakat”, bukan untuk pemerintah juga bukan kepada KMW (Proyek), beberapa waktu yang lalu pesan itu saya kutip lagi untuk membesarkan hati faskel yang banyak mengeluh karena keterlambatan gaji. Kalimat “bekerja untuk masyarakat” memang tidak salah namun sekali lagi masih saja menjadikan masyarakat sebagai obyek, sekalipun menurut kita terkesan lebih pas daripada memakai kalimat “bekerjasama dengan masyarakat” atau “mengajak masyarakat bekerja sama”, bisa jadi semua hal diatas cuma kebetulan atau masalah leksikal dan gramatikal bahasa semata, namun kebetulan yang sering dan menjadi kebiasaan juga merupakan suatu budaya. Bahasa atau kebiasaan leksikal dan gramatikal kita juga toh juga sangat dipengaruhi oleh paradigma kita.

Kalau kita mau lebih jujur serangkaian kegiatan pembangunan atau pemberdayaan yang saati ini kita lakukan dengan mengusung tema pembangunan manusia memang masih sering mengandung ambivalensi antara makna sosial etis kepada masyarakat atau politis ekonomis bagi diri kita sendiri, berbagai permasalahan seperti keterlambatan biaya operasional atau sarana penunjang kegiatan, pengurangan nominal dana pelatihan, pengurangan kuantitas media dll. yang membuat kita sering ambigu saat ada yang bertanya apa perbedaan antara “proyek” dengan “program” atau saat ada masyarakat yang bertanya apa perbedaan antara “fasilitator” dengan “relawan”. 

Dalam konteks ini saya sering mengamini pendapat yang mengatakan bahwa kita sebenarnya kita belum benar-benar sadar jika kita belum benar berubah atau mengutip istilah Freire perubahan paradigma kita masih pada tahap naif belum pada tahap kritis, atau setidaknya kita tidak lagi di tahap kesadaran magis. (FS. Zuhry, pelaku PNPM Mandiri Perkotaan)

Demikian catatan dari FS. Zuhry, salah seorang sahabat tohitem pelaku PNPM Mandiri kepada Nukilan dari Pedalaman @ http://www.tohitem.com

Tidak ada komentar: